Latar Belakang Masalah
Pemilihan Umum merupakan prasyarat penting dalam bangunan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Pemilihan umum baik pilkada, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh undang-undang nomor 15 tahun 2011. Sehingga, desain pemilu yang dilaksanakan, selalu mengalami perubahan. Atau hampir dapat dikatakan, sistem pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali penyelenggaraan pemilu mekanismenya selalu dirubah sesuai dengan kebutuhan zaman.
Pemilihan Umum merupakan prasyarat penting dalam bangunan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Pemilihan umum baik pilkada, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh undang-undang nomor 15 tahun 2011. Sehingga, desain pemilu yang dilaksanakan, selalu mengalami perubahan. Atau hampir dapat dikatakan, sistem pemilu di Indonesia tidak tuntas karena setiap kali penyelenggaraan pemilu mekanismenya selalu dirubah sesuai dengan kebutuhan zaman.
Sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat, pemilu diharapkan
dapat tampil di tengah-tengah rakyat Indonesia yang plural dengan baik.
Aspirasi yang dilakukan oleh rakyat, dimaksudkan agar terjadi sinergitas yang
positif antara proses dengan hasil. Artinya, aspirasi rakyat merupakan “Ruh”
dalam pelaksanaan Indonesia ke depan. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu pada
saat ini, dirasakan hanyalah satu babak dari kisah “bongkar pasang” pesta para
“petualang-petualang” politik. Akibatnya, permasalahan dalam pelaksanaan pemilu
pun selalu muncul, mulai dari masalah ; money politik, black
campaign, kampanye terselubung, kemunafikan atau hipokrisi, dan berbagai
permasalahan lain yang menjadi “asam garam” dalam pelaksanaan pemilu. Dan yang
paling mencengangkan, dalam tingkatan masyarakat, masih rendahnya tingkat
aspirasi yang dikeluarkan dalam pelaksanaan pemilu, dan fenomena ini dalam
pelaksanaan pemilu disebut dengan golput.
Fenomena golongan putih atau yang lebih akrab dikenal dengan
sebutan golput, disinyalir selalu menyeruak kepermukaan jagat politik negeri
ini setiap kali hajatan demokrasi berlangsung baik dalam pemilihan
bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, dan presiden maupun wakil
presiden.
Rumusan masalah
Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menekan angka golput dalam gelaran Pilpres 2014 berada di bawah 25%, tidak berhasil. Bahkan angka golput pada Pilpres tahun ini lebih buruk dibanding Pilpres 2009.Tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 (yang hanya mencapai 24%). Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara. Buruknya angka partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilpres 09 Juli 2014 menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, dikarenakan data pemilih yang diolah KPU kurang valid. Bahkan sebelum dilakukan pemilihan, potensi golput mencapai lebih dari 20%. Dikatakan Jeirry, kondisi ini diperparah dengan banyaknya warga yang menggunakan hak suara lewat jalur Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).
Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menekan angka golput dalam gelaran Pilpres 2014 berada di bawah 25%, tidak berhasil. Bahkan angka golput pada Pilpres tahun ini lebih buruk dibanding Pilpres 2009.Tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 (yang hanya mencapai 24%). Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara. Buruknya angka partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilpres 09 Juli 2014 menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, dikarenakan data pemilih yang diolah KPU kurang valid. Bahkan sebelum dilakukan pemilihan, potensi golput mencapai lebih dari 20%. Dikatakan Jeirry, kondisi ini diperparah dengan banyaknya warga yang menggunakan hak suara lewat jalur Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).
Atas banyaknya jumlah
DPKTb, Jeirry memperkirakan, jumlah golput dalam gelaran Pilpres 2014, bisa
berada di atas angka 30% atau lebih dari 60 juta suara. Sementara untuk
provinsi, Jawa Barat menjadi provinsi tertinggi untuk golput di Pulau
Jawa. Daftar pemilih yang tercatat dalam DPT, DPTb, DPK dan DPKTb
sebanyak 33.821.378 orang. Dari jumlah pemilih itu, yang menggunakan hak pilih
sebanyak 23.990.089 orang dengan suara sah 23.697.696 dan suara tidak sah
292.393 suara. Tingkat golput untuk Jawa Barat mencapai 29,07%. Kendati tingkat
golput tinggi, tambah Jeirry, bukan berarti presiden terpilih tidak sah. “Angka
golput yang tinggi hanya mengindikasikan tingkat legitimasi di masyarakat akan
presiden terpilih menjadi rendah. Secara hukum tidak ada pengaruhnya, tetap sah
sesuai raihan suara hasil rekapitulasi nasional suara oleh KPU.
Dari data tersebut
dapat ditarik pertanyaan mengenai alasan apa yang menyebabkan masyarakat memilih untuk melakukan tindakan
golput ?
Pembahasan
Golput yang selama ini terjadi menyeruak kepermukaan bukan tanpa sebab. Arbi Sanit (1992: 73) menyebutkan alasan golput di Indonesia antara lain ; Pertama, apatis (masa bodoh). Sikap ini terjadi dari ketertutupan terhadap rangsangan politik, baginya politik tidak memberikan manfaat dan kepuasaan, sehingga golongan ini tidak mempunyai minat dan perhatian terhadap politik. Dan yang kedua, alienasi (terasing). Sikap ini berbeda dengan sikap apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada pemerintah, yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya.Itulah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi golput. Sehingga, dari faktor-faktor tersebut, kemudian memunculkan pengklasifikasian dalam masalah golput.
Golput yang selama ini terjadi menyeruak kepermukaan bukan tanpa sebab. Arbi Sanit (1992: 73) menyebutkan alasan golput di Indonesia antara lain ; Pertama, apatis (masa bodoh). Sikap ini terjadi dari ketertutupan terhadap rangsangan politik, baginya politik tidak memberikan manfaat dan kepuasaan, sehingga golongan ini tidak mempunyai minat dan perhatian terhadap politik. Dan yang kedua, alienasi (terasing). Sikap ini berbeda dengan sikap apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada pemerintah, yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya.Itulah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi golput. Sehingga, dari faktor-faktor tersebut, kemudian memunculkan pengklasifikasian dalam masalah golput.
Klasifikasi tersebut adalah ; Pertama, golput teknis. Yaitu
golput yang disebabkan oleh kendala teknis, seperti keliru menandai surat suara
atau tidak hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, golput teknis
politis. Yaitu seseorang tidak memilih karena tidak terdaftar dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Ketiga, golput politis. Yaitu merasa tidak mempunyai
pilihan dari kandidat yang tersedia, atau tidak percaya bahwa pemilu akan
membawa kepada perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis. Yaitu golput
yang beranggapan bahwa demokrasi dalam mekanismenya tidak dapat dipercaya. Uraian
tersebut memberikan gambaran, betapa potret eksternal dan internal, dapat
mempengaruhi seseorang untuk tidak menyalurkan aspirasinya. Tentunya ini
menjadi perhatian, bahwa golput dapat terjadi dan terus akan terjadi, apabila
faktor-faktor dan klasifikasi golput tersebut terus dibiarkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kiranya dapat difahami bahwa golput
atau golongan putih merupakan perbuatan yang tidak memberikan aspirasi yang
positif terhadap pelaksanaan pemilu. Meskipun dengan alasan bagaimanapun juga
golput tetap tidak baik. Sebagai masyarakat yang mentaati peraturan Negara yang
menganut sistem demokrasi seharusnya kita berperan aktif dalam pelaksanaan
pemilu. Sebab, masalah pemimpin merupakan masalah yang vital dan fundamental.
Revolusioner Iran Ayatullah Khomeini pernah mengatakan bahwa
; Apabila masyarakat tidak ikut berpartisipasi dalam politik terutama dalam
memberikan hak pilih kepada calon pemimpin,
maka hukumnya dosa. Dosa karena sudah membiarkan orang lain berkuasa dan
mengatur dirinya sendiri, sedangkan orang yang mengaturnya tersebut tidak satu
visi.
Golput dapat terjadi baik disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal. Maka dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini,
diperlukan formulasi agar pelaksanaan pemilu lebih bermartabat, serta
mendapatkan aspirasi penuh dari masyarakat.
Generasi penerus bangsa
hendaknya sejak dini untuk terjun langsung mendalami dunia politik. Generasi
muda tidak di ajarkan untuk menjadi apatisme politik akan tetapi diajarkan
bagaimana mereka lebih peduli terhadap gerakan politik di Indonesia. Pemuda
sekarang jangan beranggapan bahwa hanya mahasiswa hukum saja yang akan
berbicara mengenai politik akan tetapi semua mahasiswa di Indonesia harus
terseret kedunia politik. Ini adalah bentuk kepedulian terhadap Negara yang
kita naungi dan kita cintai yaitu negera republik Indonesia.
Rekomendasi
1. Menyelenggarakan
sosialisasi ke desa- desa terutama desa yang dianggap terpencil untuk
menyadarkan kepada masyarakat mengenai wajibnya memberikan hak suara dalam
pemilu. Dan memberikan pengetahuan mengenai sistem demokrasi dan politik di Indonesia.
2. Menyelenggarakan
pelatihan kepada pemilih pemula supaya mereka tahu tata cara dalam memberikan
hak suara untuk menghindari kesalahan teknis. Setelah mereka mendapatkan ilmu
dalam tata cara mekanisme pemilu yang baik dan benar maka mereka di tugaskan
kembali untuk mensosialisasikan ilmunya kepada para tetangga terdekatnya.
3. Memberikan
sanksi keras kepada pihak media yang selalu memberikan data palsu dalam pemilu,
karena peran media sangat besar dalam mempengaruhi opini masyarakat. Media harus
bersikap netral kepada partai dan hasil pemilu.
4. Menambahkan
mata pelajaran politik di SMA/SMK.
5. Memberikan
keistimewaan kepada orang- orang yang sedang merantau didaerah lain agar tetap
bisa memilih calon pemimpin di daerahnya meskipun mereka tidak harus pulang ke
daerahnya karena kesibukan di daerah lain.
6. Memberikan
sanksi kepada perusahaan atau lembaga yang pada saat pemilu tetap beraktivas,
bahkan tidak memperbolehkan para karyawannya untuk memberikan hak suara karena
di haruskan tetap bekerja.
7. Mengubah hak memilih menjadi
kewajiban memilih, sebagaimana diterapkan di beberapa negara dan bahkan
disertai dengan sanksi.
Daftar Pustaka
Golput-Pilpres-Capai-567-Juta
nfopekanini.blogspot.co.id/2013/08/cara-ampuh-atasi-golput-di-pemilukada.html
No comments:
Post a Comment