Monday, 31 October 2016

Sejarah Jampang

Kabupaten Jampang Memiliki Akar Sejarah Yang Kuat
                                                     Sang Pahlawan Jampang, Raden Alit Haji Prawatasari


Sebenarnya kabupaten Jampang adalah PR lama bagi masyarakatnya, fenomena ini bukan lah cerita kemarin sore, melainkan sudah berabad-abad yang lalu, hal ini dibuktikan dengan adanya uga asal Pajampangan yang dituturkan dari lisan ke lisan tiap generasi, yaitu “Pajampangan kota bungsu” dengan gambaran bahwa di daerah Jampang suatu saat akan menjadi pusat keramaian dan memiliki pemerintahan sendiri.


Tak perlu alergi dengan istilah Kabupaten Jampang, kita sebaiknya menengok sedikit sejarahnya dulu, upaya pembentukan kabupaten Jampang dimulai dari awal abad 18, pada tahun 1703 seharusnya kita masih ingat akan peristiwa berdarah “pemberontakan masif rakyat Jampang” dalam menggempur VOC, aksi heroik tersebut dimotori oleh Haji Prawatasari yang dilatari kesengsaraan dan penderitaan rakyat Jampang dimana waktu itu setiap kebijakan pemerintah kabupaten Cianjur  acap kali pro dan tunduk terhadap Kompeni sementara tidak memihak kepada rakyat Jampang (waktu itu wilayah Jampang adalah distrik dari kabupaten Cianjur), Prawatasari sebagai ulama besar di Jampang geram menyaksikannya, ia pun mengambil alih kepemimpinan masyarakat Jampang secara informal,  berulangkali Prawatasari melakuakan cara diplomatis bersama wedana Cianjur, menyampaikan keluhan rakyat yang dipekerjakan secara kasar dengan upah kecil bahkan tanpa upah sama sekali. Sudah barang pasti disesalkan karena setiap kebijakan-kebijakan tidak memihak kepada rakyat dan kemajuan daerahnya. maka Prawatasari mengharapkan penyelesaian masalah dengan cara baik-baik tanpa kekerasan, yaitu dengan berdirinya Kabupaten Jampang menjadi pemerintahan sendiri, terpisah dari Cianjur, pemekaran ini didasari oleh hilangnya iktikad (kepercayaan) masyarakat Jampang terhadap pemerintah Cianjur, sementara mereka lebih percaya pada sosok ulama simpatik asal Jampang sendiri Prawatasari untuk memimpin mereka seutuhnya dari pada wedana Cianjur yang dianggap sebagai kaki-tangan VOC, tetapi usaha tersebut tak berbuah hasil, Prawatasari pulang dengan kekecewaan dan tangan kosong untuk rakyatnya. Ia kemudian mengumpulkan masyarakat Jampang, untuk mengekspresikan kekecewaan dan kemarahan, seluruhnya sepakat melakukan mogok kerja, perusakan hasil tanam paksa (preanger stelsel) dan kerusuhan-kerusuhan kecil di Cianjur, VOC ditaksir mengalami kerugian dan getir apabila kerusuhan akan semakin meluas, kemudian Gubernur VOC menginstruksikan dengan keras kepada seluruh wedana (bupati) di priangan untuk menangkap Haji Prawatasari hidup atau mati, tetapi karena kecintaan masyarakat terhadap Prawatasari, hal ini membuat kemurkaan tak terbendung lagi terhadap VOC sebagai titik masalah yang mengadu domba dan merugikan rakyat pribumi, sehingga Prawatasari bersama sekitar 3000 jawara Jampang tempur habis-habisan bertaun-taun secara griliya untuk mengusir VOC dari Pasundan.

ilustrasi perlawanan Laskar Jampang vs Kompeni di Batavia 1703


Dengan berkaca pada sejarah 316 tahun silam, dapat dibayangkan seperti apa kesusahannya hidup leluhur orang Jampang membela tanah-airnya, menumpahkan darah untuk mengusir penjajah, mengharapkan kemerdekaan dengan pemerintahan mandiri, bahkan permusuhan antara Jampang dan VOC telah menjadi ancaman serius bagi eksistensi VOC di pulau Jawa, namun semua ini bukan untuk diratapi sebagai suatu kesedihan, tetapi pada konteks sekarang menjadi suatu pertanyaan, kita lihat ke bawah sudah kah rakyat Jampang sejahtera? Sudah kah mereka mendapat perlakuan yang adil dalam pembangunan? Berapa anak bangsa yang putus sekolah di sana? berapa banyak aspek-aspek yang tak terperhatikan oleh pemerintah? Bagaimana keamanan dan pertahanannya sebagai daerah terluar Indonesia? Sejahtra adalah suatu paradigma kebutuhan masyrakat yang tak bisa dihindari, Sejahtera dalam arti mendapatkan hidup yang layak sesuai dengan perkembangan zaman, perlakuan adil,  mendapatkan pendidikan yang baik,  dan angka kemiskinan yang rendah, memang pada titik ini perjuangan 3 abad silam belum lah selesai, lantas apakah kita perlu berendah diri dengan nada-nada pesimis, seringkali pengkritik yang tak setuju terhadap DOB muncul dari masyarakatnya sendiri bahkan para intelek atau yang dikatakan terdidik, dengan menyudutkan berbagai kekurangan daerah sebagai DOB, pembentukan DOB memang bukan perkara yang mudah, lain hal nya apabila didukung penuh seluruh elemen masyarakat, termasuk pengkritik tadi, tidakkah mereka sebaiknya memaparkan kekurangan sekaligus mengisinya dengan solusi, bergabung dan melihat berbagai potensi baik kedepan, dalam hal ini pengejawantahan Kabupaten Jampang adalah tolok ukur keberhasilan akan kemandirian masyarakatnya, kita semua perlu bersama-sama mengawal dan mengantarkannya. Kabupaten Jampang memiliki akar sejarah yang kuat bahkan terabadikan oleh tradisi lisan uga-nya sebagai “kota bungsu”, tanah ini adalah tanah pahlawan, tanah pendekar, tanah patriotis dan tanah jawara dimana masing-masing watak tersebut mengalir di darah kita. Kita perlu bersama-sama, pembentukan kabupaten Jampang bukan hanya sebatas administratif saja dan bukan ego segelintir orang, melainkan menyangkut budaya, mental, kemandirian, rasa bangga dan jati diri untuk seluruh masyarakat Jampang yang mengacu pada otonomi daerah. Dengan akar sejarah yang kuat kita optimis dan belajar pada kemajuan negara Jepang  yang menerapkan faham gige kaiping, suatu faham yang mengakar serta menghargai terhadap sejarahnya untuk melakukan perubahan-perubahan lebih baik, dan mengakhiri ketertinggalan wilayahnya.

“Area divergence is not crime, meanwhile it was driven by the Regional Autonomy law “-Sang Bintang Pagi.


written by rifaldi efriansyah. 

No comments:

Post a Comment

Angkringan Mas Wied

Angkringan adalah tempat ngangkring  murah meriah di malam hari yang terpouler di Jogja , salah satu angkringan Jogja yang terpopuler...