Kabupaten Jampang Memiliki Akar Sejarah Yang Kuat
Sebenarnya kabupaten
Jampang adalah PR lama bagi masyarakatnya, fenomena ini bukan lah cerita
kemarin sore, melainkan sudah berabad-abad yang lalu, hal ini dibuktikan dengan
adanya uga asal Pajampangan yang dituturkan dari lisan ke
lisan tiap generasi, yaitu “Pajampangan kota bungsu” dengan gambaran bahwa di
daerah Jampang suatu saat akan menjadi pusat keramaian dan memiliki
pemerintahan sendiri.
Tak perlu alergi dengan istilah Kabupaten Jampang, kita
sebaiknya menengok sedikit sejarahnya dulu, upaya pembentukan kabupaten Jampang
dimulai dari awal abad 18, pada tahun 1703 seharusnya kita masih ingat akan
peristiwa berdarah “pemberontakan masif rakyat Jampang” dalam menggempur VOC,
aksi heroik tersebut dimotori oleh Haji Prawatasari yang dilatari kesengsaraan
dan penderitaan rakyat Jampang dimana waktu itu setiap kebijakan pemerintah
kabupaten Cianjur acap kali pro dan tunduk terhadap Kompeni sementara
tidak memihak kepada rakyat Jampang (waktu itu wilayah Jampang adalah distrik
dari kabupaten Cianjur), Prawatasari sebagai ulama besar di Jampang geram
menyaksikannya, ia pun mengambil alih kepemimpinan masyarakat Jampang secara
informal, berulangkali Prawatasari melakuakan cara diplomatis bersama
wedana Cianjur, menyampaikan keluhan rakyat yang dipekerjakan secara kasar
dengan upah kecil bahkan tanpa upah sama sekali. Sudah barang pasti disesalkan
karena setiap kebijakan-kebijakan tidak memihak kepada rakyat dan kemajuan
daerahnya. maka Prawatasari mengharapkan penyelesaian masalah dengan cara
baik-baik tanpa kekerasan, yaitu dengan berdirinya Kabupaten Jampang menjadi
pemerintahan sendiri, terpisah dari Cianjur, pemekaran ini didasari oleh
hilangnya iktikad (kepercayaan) masyarakat Jampang terhadap pemerintah Cianjur,
sementara mereka lebih percaya pada sosok ulama simpatik asal Jampang sendiri
Prawatasari untuk memimpin mereka seutuhnya dari pada wedana Cianjur yang
dianggap sebagai kaki-tangan VOC, tetapi usaha tersebut tak berbuah hasil,
Prawatasari pulang dengan kekecewaan dan tangan kosong untuk rakyatnya. Ia
kemudian mengumpulkan masyarakat Jampang, untuk mengekspresikan kekecewaan dan
kemarahan, seluruhnya sepakat melakukan mogok kerja, perusakan hasil tanam
paksa (preanger stelsel) dan kerusuhan-kerusuhan kecil di Cianjur, VOC
ditaksir mengalami kerugian dan getir apabila kerusuhan akan semakin meluas,
kemudian Gubernur VOC menginstruksikan dengan keras kepada seluruh wedana
(bupati) di priangan untuk menangkap Haji Prawatasari hidup atau mati, tetapi
karena kecintaan masyarakat terhadap Prawatasari, hal ini membuat kemurkaan tak
terbendung lagi terhadap VOC sebagai titik masalah yang mengadu domba dan
merugikan rakyat pribumi, sehingga Prawatasari bersama sekitar 3000 jawara
Jampang tempur habis-habisan bertaun-taun secara griliya untuk mengusir VOC
dari Pasundan.
Dengan berkaca pada sejarah 316 tahun silam, dapat dibayangkan seperti
apa kesusahannya hidup leluhur orang Jampang membela tanah-airnya, menumpahkan
darah untuk mengusir penjajah, mengharapkan kemerdekaan dengan pemerintahan
mandiri, bahkan permusuhan antara Jampang dan VOC telah menjadi ancaman serius
bagi eksistensi VOC di pulau Jawa, namun semua ini bukan untuk diratapi sebagai
suatu kesedihan, tetapi pada konteks sekarang menjadi suatu pertanyaan, kita
lihat ke bawah sudah kah rakyat Jampang sejahtera? Sudah kah mereka mendapat
perlakuan yang adil dalam pembangunan? Berapa anak bangsa yang putus sekolah di
sana? berapa banyak aspek-aspek yang tak terperhatikan oleh pemerintah?
Bagaimana keamanan dan pertahanannya sebagai daerah terluar Indonesia? Sejahtra
adalah suatu paradigma kebutuhan masyrakat yang tak bisa dihindari, Sejahtera
dalam arti mendapatkan hidup yang layak sesuai dengan perkembangan zaman,
perlakuan adil, mendapatkan pendidikan yang baik, dan angka
kemiskinan yang rendah, memang pada titik ini perjuangan 3 abad silam belum lah
selesai, lantas apakah kita perlu berendah diri dengan nada-nada pesimis,
seringkali pengkritik yang tak setuju terhadap DOB muncul dari masyarakatnya
sendiri bahkan para intelek atau yang dikatakan terdidik, dengan menyudutkan
berbagai kekurangan daerah sebagai DOB, pembentukan DOB memang bukan perkara
yang mudah, lain hal nya apabila didukung penuh seluruh elemen masyarakat,
termasuk pengkritik tadi, tidakkah mereka sebaiknya memaparkan kekurangan
sekaligus mengisinya dengan solusi, bergabung dan melihat berbagai potensi baik
kedepan, dalam hal ini pengejawantahan Kabupaten Jampang adalah tolok ukur
keberhasilan akan kemandirian masyarakatnya, kita semua perlu bersama-sama
mengawal dan mengantarkannya. Kabupaten Jampang memiliki akar sejarah yang kuat
bahkan terabadikan oleh tradisi lisan uga-nya sebagai
“kota bungsu”, tanah ini adalah tanah pahlawan, tanah pendekar, tanah patriotis
dan tanah jawara dimana masing-masing watak tersebut mengalir di darah kita.
Kita perlu bersama-sama, pembentukan kabupaten Jampang bukan hanya sebatas
administratif saja dan bukan ego segelintir orang, melainkan menyangkut budaya,
mental, kemandirian, rasa bangga dan jati diri untuk seluruh masyarakat Jampang
yang mengacu pada otonomi daerah. Dengan akar sejarah yang kuat kita optimis
dan belajar pada kemajuan negara Jepang yang menerapkan faham gige
kaiping, suatu faham yang mengakar serta menghargai
terhadap sejarahnya untuk melakukan perubahan-perubahan lebih baik, dan
mengakhiri ketertinggalan wilayahnya.
“Area divergence is
not crime, meanwhile it was driven by the Regional Autonomy law “-Sang Bintang
Pagi.
written by rifaldi
efriansyah.
No comments:
Post a Comment